Rabu, 12 Desember 2012

Urgensi Belajar Sirah (sejarah)

Alloh ‘Azza wajalla telah berjanji untuk menanggung dan memelihara adz-Dzikir sebagaimana yang disebutkan dalam firmanNya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.(QS.al-Hijr:9).

Sesuatu yang diturunkan tidak diragukan dan tidak ada yang menyangkal bahwa itu adalah al-Qur an. Dan adapun yang dimaksud dengan adz-Dzikr dalam ayat di atas adalah as-Sunnah. Pada suatu saat, Alloh mengidentikkan as-Sunnah dengan adz-Dzikr dan pada saat yang lain mengidentikkan dengan al-Hikmah sebagaimana disebutkan Alloh dalam firmanNya, yang artinya:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Alloh dan hikmah (sunnah nabi)”.(QS.al-Ahzab:34),
artinya bahwa menjaga sunnah adalah menjaga al-Qur an, karena salah satu fungsi sunnah adalah menjelaskan al-Qur an yang masih mujmal (global), mengkhususkan yang masih umum dan mentaqyid (mengikat) yang masih mutlaq. Sunnah adalah praktek riil al-Qur an, oleh karena itu ketika ibunda Aisyah Radhiyallahu’anha ditanya,”Bagaimana akhlaq nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau Radhiyallahu’anha menjawab,”Akhlaq beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah al-Qur an.”
Dengan demikian, mengingkari sunnah berarti mengingkari al-Qur an. Karena Alloh telah mewajibkan kita untuk mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, mengikuti petunjuk beliau dan patuh kepada sunnah beliau, Alloh berfirman, yang artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).
Adapun cara atau jalan paling jelas yang Alloh jadikan untuk menjaga sunnah adalah dengan mengutus para perawi hadits yang menghabiskan waktunya untuk mentadwin (mengkodifikasi) dan menjaga dan menghafalnya, yaitu dengan menjadikan mereka mau mempelajari dan dan mengajarkan hadits, menyebarkan dan menyucikannya dari usaha kotor para kafir zindiq yang mencampur adukkan hadits dengan yang lain.
Cara tersebut telah diterapkan oleh khalifah Harun ar-Rasyid yang memerintahkan untuk memenggal kepala seorang yang kafir zindiq yang telah mengaku bahwa ia membuat hadits maudlu’ (palsu) sebanyak empat ribu hadits dan mencampurnya dengan sunnah. Harun ar-Rasyid berkata kepada kafir zindiq tersebut, “Engkau telah berdosa besar kepada Abu Ishaq al-Fazari dan Abdullah bin Al-Mubarak yang telah menyaring hadits-hadits tersebut, kemudian tiba-tiba kamu datang dan mengoyak-ngoyaknya sehuruf demi sehuruf.”
Salah satu hal yang dapat dibanggakan dari umat ini adalah bahwa sejarah mereka dikodifikasi, para perawinya ditulis biografinya dan sejarah Islam penuh dengan kejadian besar yang layak untuk dijadikan kebanggaan oleh islam dan pemeluknya.
Di samping itu, telah lahir para tokoh dan ulama’ yang mengaktorkan dan memperlihatkan keagungan Islam, dan yang membenarkan da’wah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, Islam banyak memiliki para tokoh ulama’ mulia, para penguasa agung yang menyandang nama besar dan selalu mengembangkan da’wah islamiyah, mereka besar dengan didikan Islam, Alloh mengangkat Islam dan meninggikan Syariatnya melalui perjuangan mereka.
Sungguh sangat penting bagi para penuntut ilmu untuk mengetahui dari dekat tentang profil ulama’ tersebut, di mana masa transisi dari zaman ke zaman menjadikan simbol-simbol sunnah mulai terhapus, ahlussunnah sedang mendapatkan ujian , dimana skala motivasi para penuntut ilmu sedang menurun, dan hal itu ternya disebabkan karena terbiusnya sebagian kaum muslimin dengan gemerlapannya dunia, sehingga mereka lupa akan pahala dan siksa, mereka tidak tau penyebab para salaf (pendahulu yang baik) mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat, yaitu dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh.
Para ulama’ adalah pemimpin dunia sebagaimana mereka juga pemimpin di akhirat. Hal ini tercermin dalam suatu kisah, pada saat seorang dari Bashrah memasuki suatu daerah, dia lantas bertanya kepada orang-orang yang ditemui di sana,”Siapakah pemimpin daerah ini”. Mereka menjawab, “Al-Hasan al-Bashri”. Dia melanjutkan pertanyaannya,”Kenapa dia menjadi pemimpin kalian”. “Karena Kami semua membutuhkan ilmunya sedangkan ia tidak membutuhkan harta kekayaan kami”. Jawab mereka.
Al-Imam Sufyan ibnu ‘Uyainah mengatakan,”Orang yang paling tinggi derajatnya adalah orang yang berada di antara Alloh ‘Azza wajalla dan para hambaNya. Mereka itu adalah para nabi dan para ‘Ulama’”.
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri mengatakan,”Hadits nabi ini adalah kemuliaan. Maka barang siapa menginginkan dunia, tentu dia akan mendapatkannya, dan barang siapa menginginkan akhirat, tentu dia akan mendapatkannya pula”.
Ilmu dapat mengangkat hamba sahaya ke derajat tinggi sampai dapat mendudukkannya ke majelis para penguasa. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya dari hadits yang berasal dari az-Zuhri. Dari Abu Ath-Thufail bahwasanya Nafi’ bin al-Harits mendatangi sahabat Umar bin al-Khath-thab di Asfan. Nafi’ adalah penguasa Makkah yang diangkat oleh sahabat Umar bin Khathab, sahabat Umar berkata kepadanya,”Siapakah yang menjadi pemimpin di daerah al-Wadi?”. Nafi’ menjawab,”Ibnu Abza yang menjadi pemimpin mereka”. Sahabat Umar bertanya kembali,”Siapakah Ibnu Abza?”Ia adalah seorang Qori’ (seorang yang ahli dalam membaca al-Qur an) dan seorang yang Alim dalam bidang Faraidh (ilmu pembagian waris)”. Jawab Nafi’. Sahabat Umar kemudian berkata,”Sesungguhnya Nabi kalian bersabda, “Sesungguhnya dengan ilmu ini Alloh mengangkat beberapa kaum dan menghinakan yang selainnya.” (HR. Muslim).
Ibrahim al-Harbi mengatakan,”Atha’ bin Abi Rabah adalah seorang hamba sahaya yang hitam legam milik seorang wanita di Makkah, suatu ketika Sulaiman bin Abdil Malik bin Marwan bin Hakam al-Umawy sang amirul mu’minin bersama kedua anaknya mendatangi Atha’. Mereka lalu duduk di dekat Atha’ yang sedang melaksanakan shalat. Lama mereka menunggu dan setelah selesai shalat, Atha’ baru menoleh kepada mereka dan mereka pun lantas bertanya banyak tentang manasik haji. Setelah itu, Sulaiman berkata kepada kedua anaknya,”Wahai anakku berdirilah.” Dan mereka berdua pun lalu berdiri. Setelah itu sulaiman melanjutkan perkataannya, “Jangan bosan-bosan kalian untuk belajar ilmu. Karena sesungguhnya aku tidak akan pernah lupa tentang kehinaan kita di depan budak hitam legam ini”.
Al-Harbi berkata,”Muhammad bin Abdirrahman adalah seorang yang cacat, yaitu seorang yang hidungnya menjorok ke dalam dan kedua pundaknya melebar. Suatu saat, ibunya berkata kepadanya,”Wahai anakku, boleh saja kamu dalam setiap pertemuan dengan orang banyak selalu menjadi bahan tertawaan, akan tetapi kamu juga harus menjadi kebanggaan mereka. Untuk itu kamu harus belajar dan mencari ilmu, karena ilmu dapat mengangkat derajatmu”.
Akhirnya, Muhammad bin Abdirrahman menjadi penguasa Makkah selama dua puluh tahun, al-Harbi selanjutnya mengatakan,”Jika musuh debatnya sudah duduk di dekatnya, maka sang musuh seketika bergetar sampai dia berdiri sambil melantunkan sya’ir berikut,
Kebanggaan hanyalah milik para ahli ilmu. Sesungguhnya mereka adalah penerang bagi para pencari petunjuk. Derajat stiap orang adalah apa yang dapat menjadikannya baik. Orang-orang bodoh adalah musuh bagi orang pintar. Dengan ilmu, kehidupan mereka akan bahagia selamanya. Orang bodoh akan mati, sedangkan orang berilmu akan selalu hidup.
Suatu ketika, Abdullah bin al-Mubarak memasuki Khurrasan, dan untuk menyambutnya keluarlah ribuan penuntut ilmu. Melihat hal itu, seorang Ummul walad (budak wanita yang merdeka karena telah melahirkan anak tuannya) bertanya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid tentang siapa laki-laki tersebut. Dikatakan kepada Ummul walad,”Orang itu adalah Abdullah bin Mubarak, Seorang Muhaddits (Ahli Hadits) daerah khurrasan.” Sang Ummul walad tersebut berkata,”Orang itulah yang menjadi raja dan bukan Sultan Harun ar-Rasyid”. (syaraf Ashaab a-Hadits hal. 99-100)
Al-Hafidz berkata,”Dan, ketika al-Bukhari kembali dari perjalanannya ilmiyahnya, maka didirikanlah tenda besar di lapangan daerah itu dan hampir semua penduduk keluar untuk menyambutnya”.
Tidak diragukan lagi bahwa penghormatan terhadap ilmu dan para alim seperti di atas adalah pada zaman kebaikan dan keberkahan. Zaman di mana orang-orang masih menjunjung tinggi Syari’at Alloh dan hukum negara saat itu adalah hukum Islam.
Namun pada saat ini telah terjadi pergeseran nilai yang begitu drastis, yaitu telah dikuasai oleh musuh-musuh Islam dan orang-orang fasik. Merekalah yang dijadikan Pioner, yang perkataan dan gerakannya selalu dijadikan standard, menjadikan mereka sebagai panutan, sehingga mereka tak ubahnya tokoh ideal yang patut untuk dicontoh. Melihat mereka bagaikan melihat bintang di angkasa yang menurut masyarakat di zaman itu, kebahagiaan dapat diraih dengan mengikuti gaya hidup mereka, mengikuti jejak dan arahnya. Tentu, itu smua tidak diragukan lagi merupakan tanda-tanda kecelakaan dan merupakan sebab utama timbulnya keburukan dan malapetaka. Dan, tidak dapat dibantah bahwa setiap musuh Alloh berusaha menghalang-halangi dan selalu menggelincirkan orang-orang beriman dari jalan Alloh yang lurus.
Oleh karena itu usaha yang terbaik dari orang-orang yang menghendaki kalimat Alloh menjadi tinggi adalah meminta bantuan kepada Alloh. Di samping menjaga diri dari berbaur dengan kejelekan yang telah menggejala ini. Usaha berikutnya adalah dengan mengangkat para tokoh ulama’ dan agama menjadi pemimpin dan menjadikannya bagaikan bintang kejora. Mengikuti petunjuk yang dibawanya dan meniti setiap jalan mereka, baik yang kecil maupun yang besar, dan untuk mengetahui perjuangan dan keilmuan mereka sangat penting mempelajari biografi para ulama’ serta perjalanan mereka dalam menuntut ilmu dan menegakkan kalimat Alloh.
Di antara manfaat memperlajari sirah para ulama’ adalah :
1. Mendidik generasi muda Islam untuk bangkit dan berjalan sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh para ulama’, sehingga mereka bisa mengikuti jejak para ulama’ tersebut dan dapat memperoleh kebaikan dan kenikmatan yang dicapai mereka.
2. Dapat membaca besarnya perjuangan mereka, mengetahui bahwa derajat mereka lebih tinggi dibandingkan dengan keumuman manusia, dan yang terpenting adalah bahwa hal itu bisa menjadi motifator dan inspirator yang menjadikan para pemuda bersemangat meniti jejak mereka.
3. Kaum muslimin dapat mengambil pelajaran dari buah pemikiran mereka dalam berijtihad, hal-hal yang mereka kumpulkan berupa ilmu dan pengetahuan bisa diterapkan dengan mempelajarinya.
4. Mengetahui kemuliaan ilmu dan orang yang berilmu. Jika para pedagang sibuk dengan barang dagangannya, penguasa sibuk dengan urusan pemerintahan, dan para pekerja sibuk dalam melaksanakan tugas-tugas dari atasannya, maka para ulama’ sibuk dengan pekerjaannya, yaitu menjaga agama Alloh, menyebarkan Syari’atnya dan menghidupkan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
5. Bertambahnya kecintaan kepada para ulama’, sementara Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,”Seseorang akan selalu bersama dengan orang yang dicintainya”. Maka beruntunglah orang yang mencintai para Ulama’.
6. Akan bisa menyebarkan ilmunya, mengambil manfaat dari kecerdasannya, dan mengambil Ibrah dari nasehat-nasehatnya.
7. Akan menyadarkan kita bahwa saat ini kita sedang dalam keadaan krisis, krisis idealisme, krisis pemikiran, krisis tokoh fenomenal, sehingga dengan menggali biografi mereka diharapkan bisa menjadi salah satu solusi krisis ini.
8. Faidah lain akan bisa mengetahui tentang tingkatan dan masa para ulama’, mengetahui juga tentang guru-guru dan murid-murid mereka.
9. Segi positif lainnya adalah pembaca akan menemukan energi, dan akan meniru mereka, meski hanya sebagian kecil saja, dengan membaca dan mempelajari kisah-kisah manusia utama tentu akan ada sebuah radiasi yang ditimbulkan meskipun hanya sedikit saja.
Itulah sedikit penjelasan tentang pentingnya mempelajari sirah atau sejarah perjalanan para ulama’, sehingga cerita-cerita nyata yang fenomenal itu bisa merasuk kedalam hati anak-anak, para penuntut ilmu dan para ustadz serta pengajar-pengajar materi keagamaan, yang nantinya akan membentuk suatu karakter untuk mencontoh pola hidup mereka, bagaimana mereka berkembang menjadi pejuang-pejuang besar seperti itu.
Semoga kita bisa mencontoh perjalanan kehidupan mereka yang begitu indahnya.
Allaahu a’lam bish-Shawab.
Oleh : Bambang Tri Wantoro.
Sumber : sebagaian besar sumber diambil dari kitab Min A’lam as-Salaf Karya Syaikh Dr. Ahmad Farid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar